Review Buku Critique of Pure Reason
|
Nama Buku : Critique of Pure
Penulis : Immanuel Kant
Penerbit :
Cambridge University Press
Tahun Terbit : I998
A. PENDAHULUAN
Manusia percaya bahwa dengan kemampuan pengenalannya mampu mencapai
realitas sebagaimana adanya. Filsuf-filsuf pra-Sokrates misalnya menerima
begitu saja bahwa manusia dapat mengenal hakikat benda, meskipun terkait
mekanisme pengenalan ada yang lebih menekankan peran indra, tetapi ada juga yang
menentang karena lebih menekankan pada akal. Meskipun demikian, keduanya percaya bahwa
pengenalan manusia hingga mencapai pemahaman atas realitas sebagaimana adanya
adalah sesuatu hal yang mungkin (Hamlyn, 1967: 9). Skeptisisme ala kaum Sophis
ini menyebabkan timbulnya epistemologi seperti yang secara tradisional dimaknai
sebagai usaha untuk mencari pembenaran atas pernyataan bahwa pengetahuan itu
mungkin serta untuk menilai bagaimana peranan indra dan akal dalam pengenalan.
Diantara
berbagai macam aliran yang mencoba menyusun teori pengetahuan, ada dua aliran
besar yang sangat berpengaruh kuat, yaitu rasionalisme dan empirisme.
Pertentangan dua aliran besar inilah yang kemudian membentuk gagasan
pengetahuan Immanuel Kant yang dijadikan sebagai pusat kajian dalam artikel
ini. Pemilihan tokoh Immanuel Kant (1724-1804) lebih didasarkan pada
argumentasi bahwa tokoh ini memiliki posisi yang sangat sentral dalam tahap
perkembangan epistemologi Barat, khususnya dalam upaya menjembatani konflik
antara empirisme dan rasionalisme. Oleh karena itu kajian tentang Immanuel Kant
dalam ranah epistemologi tetap akan menempati posisi yang penting.
B. PEMBAHASAN
Immanuel
Kant lahir pada tanggal 22 April 1724 di Konigsberg (dulu adalah ibukota
propinsi Jerman), Prusia Timur. Terlahir sebagai anak keempat dari enam
bersaudara, Immanuel Kant dibesarkan dalam sebuah situasi kemiskinan. Ayahnya
berdarah Skotlandia, sedangkan ibunya berdarah Jerman. Ayah Kant bekerja
sebagai seorang tukang potong tali kulit, sedangkan ibunya adalah seorang
perempuan yang tidak mendapatkan pendidikan formal namun memiliki
"kecerdasan alamiah" yang luar biasa. Kecerdasan inilah yang turun
dalam diri Immanuel Kant.
Pada usia 18 tahun,
Immanuel Kant memasuki Universitas Konigsberg sebagai mahasiswa teologi. Namun
tidak lama setelah itu, minatnya lebih banyak tertuju pada matematika dan
fisika. Kant banyak membaca karya-karya Newton yang kemudian memberikan
inspirasi baginya terkait berbagai kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Kemudian tahun 1755 ia dapat
menyelesaikan studinya dan menjadi pengajar diuniversitas tersebut. Kemudian Immanuel Kant
berhenti mengajar dari Universitas Konigsberg pada tahun 1797 karena mulai
sakit-sakitan. Setelah itu Kant mulai memfokuskan pada kegiatan untuk mengedit
kembali karya-karyanya.
Epistemologi
Immanuel Kant dapat diposisikan sebagai jembatan antara rasionalisme dan
empirisme. Baik rasionalisme maupun empirisme mencoba untuk menjawab persoalan
: “nilai apa yang ada dalam pengetahuan yang saya peroleh mengenai dunia fisik
(material) dan kaitannya dengan apa yang harus saya lakukan?” Pandangan
rasionalisme memulainya dengan asumsi bahwa kepastian/pengetahuan hanya dapat
diperoleh melalui kerja pikiran karena dalam pikiran manusia telah ada ide-ide
bawaan yang bersifat universal. Sifat universal ini dibutuhkan dalam
pengetahuan ilmiah maupun filsafat, tetapi sayangnya rasionalisme gagal untuk
menjelaskan keabsahan pengetahuan tersebut dalam rujukannya kepada dunia alam
tanpa terjatuh pada panteisme.
Immanuel
Kant menyatakan bahwa rasionalisme memiliki sifat analitik apriori (mendahului
pengalaman). Adapun ciri putusan yang bersifat analitik apriori adalah
mengkonstruksi sebuah sistem pengetahuan yang dilengkapi dengan dimensi
universalitas atau keniscayaan. Hanya saja, jenis pengetahuan yang semacam ini
bersifat tautologis, hanya pengulangan dan kurang andal, karena tidak
menyajikan sesuatu yang baru. Sedangkan empirisme memiliki sifat sintesis aposteriori.
Kebenaran sintetik adalah kebenaran bersyarat, tergantung pada bagaimana dunia
sebagaimana adanya (aposteriori – setelah pengalaman). Keunggulan dari jenis
putusan yang bersifat sintesis-aposteriori adalah mampu memberikan pengetahuan
baru. Namun kelemahannya adalah predikat tidak lebih dari fakta pengalaman, sehingga
model putusan yang semacam ini akan kehilangan aspek universalitasnya.Untuk
dapat sampai pada kebenaran yang sintetik apriori maka harus terjadi revolusi
pikiran dari proposisi-proposisi.
C. ANALISIS
Immanuel Kant mempertahankan
pandangannya tersebut di atas dengan mengatakan bahwa sistesis apriori seperti
yang telah dilakukannya di atas adalah mungkin melalui putusan atas perasaan
(judgement of sentiment). Hal inilah yang disajikan oleh kant dalam Critique
of Judgment. Putusan atas perasaan berbeda dengan putusan sintesis apriori,
seperti yang telah Kant sebutkan pada Critique of Pure Reason. Putusan
atas perasaan mengandaikan ada satu forma kosong intelek yang ditentukan oleh
elemen tertentu yang diperoleh melalui proses pengindraan. Jika putusan yang
diperoleh melalui sintesisapriori disebut dengan putusan penting (determining
judgement) maka putusan atas perasaan itu disebut dengan putusan hasil refleksi
(reflecting judgement), meliputi putusan teleologis dan putusan estetis.
Putusan atas perasaan ini berasal dari luar bentuk apriori intelek, yaitu
berasal dari kekuatan afektif kehendak subjek. Oleh karena itu menurut Kant,
putusan yang semacam ini tidak akan memberikan putusan yang tepat, melainkan
hanya memanifestasikan kemendesakkan.
Pemikiran Kant tersebut sangat menarik
karena membuka peluang ke arah metafisika dan pengetahuan yang lebih esensial.
Jika pada pemikiran Kant dalam Kritik atas rasio murni ditegaskan bahwa kita
hanya dapat mengetahui objek sejauh dalam fenomen melalui persepsi inderawi,
maka memang akan menjadi pertanyaan besar terkait dengan objek-objek yang tidak
berfenomen. Konsep Cinta, Keabadian, Tuhan misalnya, tidak dapat dipenuhi
dengan pengalaman inderawi. Jika kemudian atas dasar rasio murni disimpulkan
bahwa karena tidak dapat ditangkap indra maka konsep-konsep tersebut tidak
memadai, tentu ini kesimpulan yang tidak tepat. Hal ini dikarenakan tetap ada
insight pengetahuan untuk hal-hal yang semacam itu. Barangkali pengetahuan yang
semacam ini memang belum lengkap atau belum sempurna, namun bukankah pikiran
manusia senantiasa terbuka dan terus berkembang secara kreatif. Pengetahuan
adalah bagian dari hidup dan kehidupan manusia yang didalamnya terdapat dimensi
historisitas dan sosialitas. Oleh karena itu interaksi dengan waktu, lingkungan,
dan sesamanya akan memacu tumbuhnya pengetahuan secara terus menerus.
D. KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan akan ditegaskan bahwa
pemikiran Kant dalam bidang epistemologi, yang sepenuhnya tercurah dalam
karyanya yang berjudul Critique of Pure Reason ternyata masih menyisakan
persoalan dalam ranah metafisika. Hal ini dikarenakan secara tegas Kant
memisahkan antara fenomena dan noumena. Manusia hanya mampu menangkap fenomena
saja melalui intuisi inderawi dalam ruang waktu yang kemudian dikategori dalam
forma akal. Adapun noumena tidak akan pernah tersentuh. Hal ini jelas
menyisakan pertanyaan terkait dengan peluang manusia untuk sampai pada
pengetahuan yang essensial dan transendental.
Manusia pun memiliki sifat multidimensional, masing-masing dimensi
memiliki peran dan kemudian terlibat secara bersama-sama. Sifat pengetahuan
yang analog sesungguhnya merupakan pemaknaan atas multidimensionalitas
kehidupan manusia. Hal ini membawa konsekuensi pada perlunya dialog
intersubjektif dan keterbukaan secara terus menerus. Pengetahuan adalah sesuatu
hal yang tidak berbatas, pengetahuan manusia karenanya tidak akan pernah sampai
pada ujung perjalanan melainkan hanya terus menerus diperluas cakrawalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar