Transendental Estetika
Menurut Kant,
ruang dan waktu bukanlah realitas yang eksis dalam dirinya sendiri, sebagaimana
dipercaya oleh Newton. Ruang dan waktu juga bukan realitas yang dihasilkan oleh
pengalaman, sebagaimana dipertahankan oleh Aristoteles. Ruang dan waktu lebih
merupakan bentuk-bentuk apriori, bukanlah eksistensi dari sesuatu tetapi
posibilitas dari keberadaannya yang termanifestasi di dalam diri kita. Lebih
singkatnya ruang dan waktu itu adalah bentuk-bentuk yang subjektif
Transendental Estetika merupakan keindahan
dari suatu keadaan yang tidak didasarkan pengalaman ataupun penalaran. Nilai
transendental merupakan suatu yang bergerak di luar rentangan pengalaman
manusia yang aktual atau sehari-hari dan juga tidak berdasar pada penalaran dan
kekuatan mendeskripsikan. Nilai transendental tidak dapat ditemukan atau
dipahamkan dengan pengalaman praktis melainkan diketahui dengan intuisi.
Intuisi yang dimaksud adalah daya atau kemampuan mengetahui atau memahami
sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari, bisikan hati, gerak hati (Mustopo,
1988:123-129).
Transendental estetika ini
meneliti keindraan. Alat indra kita menimbulkan tanggapan. Menurut Kant, setiap
benda harus memenuhi ruang serta berlangsung dalam waktu. Tanggapan ruang dan
waktu merupakan satu syarat mutlak bagi setiap pengalaman atau pengamatan suatu
benda. Oleh karena itu, Kant menyebut ruang dan waktu itu sebagai “bentuk
pengamatan yang aprioris” (sebelum pengalaman). Dengan perkataan lain, kita
mengamati sesuatu dalam ruang dan waktu, bukan karena adanya ruang dan waktu
pada objek, melainkan berkat keindraan, yaitu suatu kesanggupan budi kita;
suatu makhluk yang tidak memiliki keindraan tidak akan mungkin mengamati ruang
dan waktu.
Adapun ruang dan waktu
bukan innate idea, melainkan termasuk struktur budi kita.
Misalnya, seorang yang memakai kaca mata biru maka segala sesuatu yang
dilihatnya tampak biru. Ilmu pasti dimungkinkan
oleh bentuk pengamatan aprioris karena ada keindraan pada budi yang memiliki
struktur bentuk-bentuk aprioris sehingga dapat menyusun ruang dan waktu. Ilmu
pasti dibagi menjadi dua, yaitu ilmu ukur dan ilmu hitung. Ilmu ukur
berdasarkan ruang. Dalam menyusun ilmu ukur dibutuhkan kesanggupan-kesanggupan
untuk mengamati ruangan. Sedangkan ilmu hitung dibentuk berdasarkan waktu.
Kedua ilmu ini merupakan ilmu pengetahuan karena ilmu ukur dan ilmu hitung
terdiri atas pendapat sintetis aprioris.
Kant berhasil menunjukkan
perbedaan antara a priori dan a posteriori dan mempertahankan pentingnya
pengetahuan a priori. Kant memberikan garis besar mengenai apa yang dia mau
tulis dalam bukunya. Satu hal yang penting untuk dicatat dalam membaca Kant
lebih lanjut adalah bahwa Critique of Pure Reason bukanlah kritik
terhadap penalaran murni, melainkan untuk memperlihatkan bahwa nalar murni
adalah pengetahuan tertinggi yang bisa kita peroleh a priori. Critique of
Pure Reason juga menunjukkan bahwa nalar juga memiliki batasan, dan tugas
pengetahuan empiris adalah membuktikan dan menjelaskan pengetahuan kita itu
agar dia tidak jatuh menjadi dogma semata. Pada saat yang sama Kant menjelaskan
batasan dunia empiris dan juga batasan dunia metafisika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar