TELAAH
KETOPRAK DENGAN LAKON REMBULAN KEKALANG
Narasumber :
Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Mata Kuliah :
Filsafat Pendidikan Sekolah Dasar
Nama :
Bherrio Dwi Saputra
NIM :
21706261009
Peementasan ketoprak dalam rangka dies natalis UNY yang
disutradari oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti dengan Drs. Sukisno, M. Sn sebagai
penulis naskah ini mengangkat lakon “Rembulan Kekalang”. Adapun lakon “Rembulan
Kekalang” ini bercerita mengenai usaha untuk merebut kekuasaan di tanah Mataram
dengan jalan yang menyalahi norma dan aturan. Lakon ini mewakili salah satu
dari fenomena di masyarakat, yaitu bahwa seseorang bisa jadi akan me-lakukan
segala cara meskipun cara tersebut menentang aturan dan nurani demi mencapai
ambisi, pangkat, kedudukan, kekuasaan, atau martabat yang diinginkannya.
Ceritanya bermula ketika Pangeran Sepuh Purbaya—diperankan oleh
Prof. Dr. Marsigit, M. A.—berniat untuk lengser keprabon (turun
tahta) dan meminta tanggapan dari Patih Singoranu, Demang Danupati, Tumenggung
Pasingsingan, Tumenggung Sindureja, Tumenggung Niti Prakoso, dan permaisuri.
Pada saat itu, Patih Singoranu dan permaisuri menanyakan kepada Pangeran Sepuh
Purboyo apakah sudah dipikir secara matang dan bijaksana niatan tersebut, sebab
rakyat Mataram masih menginginkan Pangeran Sepuh Purboyo menjadi raja Mataram
dan tentu ini akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat tanah Mataram. Akan
tetapi, tanggapan Patih Singoranu tersebut ditentang oleh Tumenggung
Pasingsingan yang berpendapat bahwa seyogyanya sebagai patih haruslah tunduk
dan patuh pada kehendak raja. Lebih lanjut, Tumenggung Pasingsingan ini malah
berburuk sangka dan menuduh bahwa apa yang dilakukan oleh Patih Singoranu
tersebut merupakan akal-akalan dari Patih Singoranu agar dirinya tetap menjadi
patih.
Pangeran Sepuh Purbaya secara resmi menyatakan untuk lengser
keprabon dan diangkatlah Sinuhun Amangkurat atau Pangeran Hadi Mataram
sebagai raja Mataram yang baru. Dengan diangkatnya Pangeran Hadi Mataram
sebagai raja Mataram dan diangkatlah pula Tumenggung Sindureja sebagai patih
menggantikan Patih Singoranu. Tumenggung Pasingsingan tidak terima dengan hal
ini, karena menurutnya dialah yang pantas dan seharusnya diangkat menjadi
patih, bukan malah Tumenggung Sindureja. Akhirnya, Tumenggung Pasingsingan
merasa putus asa dan memikirkan berbagai cara agar ambisinya untuk menjadi
patih di kerajaan Mataram tersebut dapat terwujud. Lalu, bagaimanakah cara yang
ditempuh oleh Tumenggung Pasingsingan untuk merealisasi-kan ambisinya tersebut?
Pada suatu ketika Pangeran Timur—saudara dari Pangeran Hadi
Mataram—secara tidak sengaja bertemu dengan Rara Mangli—anak dari Tumenggung
Pasingsingan. Karena paras cantik dari Rara Mangli ini, Pangeran Timur jatuh
hati dengan Rara Mangli dan berniat untuk memperistrinya. Akan tetapi, Rara
Mangli belum bisa memutuskan apakah bersedia menjadi istri dari Pangeran Timur
dan ia meminta waktu kepada Pangeran Timur untuk memutuskan hal tersebut.
Akhirnya, Pangeran Timur-pun datang menghadap kedua orang tua Rara Mangli
dengan niatan untuk meminta izin memperistri Rara Mangli—yang pada saat itu
juga Yu Genuk berada di antara mereka. Kedua orang tua Rara Mangli menyerahkan
keputusannya kepada Rara Mangli sebab ia sendirilah yang nantinya akan menjalani
kehidupan berkeluarga. Rara Mangli bersedia menjadi istri Pangeran Timur, namun
dengan satu permintaan, yaitu Pangeran Timur harus naik tahta menjadi raja
kerajaan Mataram.
Tentu, apa yang menjadi permintaan Rara Mangli tersebut membuat
Pangeran Timur murka, sebab ia tidak mungkin membunuh kakanya sendiri, yaitu
Pangeran Hadi Mataram, untuk merebut tahta Mataram. Tumenggung Pasingsingan-pun
memanfaat-kan situasi ini untuk memperkeruh suasana—agar ambisinya untuk
menjadi patih di kerajaan Mataram dapat tercapai. Ia mengungkapkan bahwa
apabila Pangeran Timur tidak bersedia menuruti permintaan anaknya, maka ia
tidak akan merestui Rara Mangli untuk diperistri oleh Pangeran Timur.
Tumenggung Pasingsingan juga menyebutkan bahwa apabila Pangeran Timur benar-benar
mencintai Rara Mangli seharusnya apa yang diminta oleh Rara Mangli tersebut
tetap dipenuhi, ibarat sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati.
Demi mewujudkan ambisinya untuk menjadi patih Mataram, Tumenggung
Pasingsingan memutuskan untuk menawarkan diri kepada Pangeran Timur bahwa dia
sendirilah yang akan membunuh Pangeran Hadi Mataram agar Pangeran Timur bisa
menjadi raja Mataram. Keputusan ini menyebabkan Nyi Menggung Pasingsingan tidak
habis pikir mengapa suaminya bisa memiliki ambisi sebesar itu dan tentunya Nyi
Menggung Pasingsingan menentang keputusan yang dibuat oleh suaminya tersebut
karena ia takut jika Tumenggung Pasingsingan sendirilah yang akan mati pada
akhirnya. Tumenggung Pasingsingan berdalih bahwa apa yang menjadi keputusan dan
apa yang akan ia lakukan tersebut demi keinginan, kebahagiaan, dan kemuliaan
sang anak.
Yu Genuk yang mengetahui rencana jahat Tumenggung Pasingsingan,
memutuskan untuk menyampaikan hal tersebut kepada suaminya, yaitu Tumenggung
Niti Prakoso. Tumenggung Niti Prakoso mempercayai apa yang disampaikan oleh Yu
Genuk dan ia langsung menemui Pangeran Sepuh Purbaya untuk menyampaikan hal
tersebut. Pada suatu malam, Tumenggung Pasingsingan menyirep prajurit yang
menjaga kerajaan Mataram demi melancarkan aksinya untuk membunuh Pangeran Hadi
Mataram. Namun sayangnya, aksi yang dilakukan oleh Tumenggung Pasingsingan
tersebut ketahuan oleh Pangeran Sepuh Purbaya dan Tumenggung Niti Prakoso.
Meskipun mencoba berkilah, tetap saja Pangeran Sepuh Purbaya tidak mempercayainya,
sebab ia sudah memperoleh semua informasi yang sesungguhnya dari Tumenggung
Niti Prakoso. Melalui perkelahian yang cukup sengit, akhirnya Tumenggung
Pasingsingan berhasil ditangkap dan dihukum mati.
Setelah kejadian penangkapan Tumenggung Pasingsingan atas usaha
untuk melakukan pembunuhan terhadap Pangeran Hadi Mataram, Pangeran Hadi
Mataram memanggil Pangeran Timur untuk menghadapnya. Di hadapan Pengeran Hadi
Mataram, Pangeran Timur mengakui atas kesalahannya yang telah terperdaya oleh cinta
yang akhirnya menggiringnya untuk mengikuti rencana jahat Tumenggung
Pasingsingan. Pangeran Hadi Mataram menyadari bahwa kejadian ini tidak akan
terjadi jika saja Rara Mangli tidak memiliki permintaan semacam itu. Pada
akhirnya Pangeran Hadi Mataram menanyakan kepada Pangeran Timur apakah ia
sanggup jika Pangeran Hadi Mataram meminta nyawa Rara Mangli. Pangeran Timur
pun menyanggupinya dan langsung menemui Rara Mangli.
Saat bertemu dengan Rara Mangli, Pangeran Timur mencoba untuk
melaksanakan apa yang telah disanggupinya dengan Pangeran Hadi Mataram. Dialog
antara keduanya pun terjadi. Pangeran Timur menyalahkan Rara Mangli yang telah
menyebabkan kekacauan di tanah Mataram. Namun, Rara Mangli tidak terima jika ia
lah satu-satu orang yang bersalah atas kekacauan tersebut dan balik menyalahkan
Pangeran Timur—andai saja Pangeran Timur tidak jatuh cinta kepada Rara Mangli
atau tidak menuruti apa yang menjadi permintaan Rara Mangli maka kejadiannya
tidak akan seperti itu. Lebih lanjut, Rara Mangli juga menyalahkan Pangeran
Timur bahwa ia seharusnya tidak hanya mau enaknya saja tanpa mau menanggung
resiko yang ada dan malah menyalahkan orang lain atas masalah yang menimpanya.
Pangeran Timur akhirnya tidak tega membunuh Rara Mangli.
Di suatu waktu Rara Mangli meratapi masalah dan beban berat yang
telah menimpanya. Betapa malangnya Rara Mangli ini yang awalnya mendambakan
suatu kebahagiaan, kedudukan, dan pangkat, namun pada akhirnya kesengsaraanlah
yang malah ia dapatkan. Tidak sanggup memikul masalah dan beban itu sendiri,
akhirnya Rara Mangli mengakhiri hidupnya [Selesai].
Dari kisah yang diceritakan melalui pertunjukan ketoprak “Rembulan
Kekalang” ini setidanya ada beberapa hal yang bisa saya ambil hikmahnya dan
mungkin nantinya akan bermanfaat bagai saya apabila menjadi seorang pendidik
nanti.
1.
Sebaiknya
kita tidak boleh berburuk sangka terhadap orang lain. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, tentu saja setiap siswa
memiliki ke-mampuannya masing-masing dalam memahami hal yang mereka pelajari.
Tidak baik bagi seorang pendidik untuk berburuk sangka kepada siswa yang
kemampuan untuk memahaminya sedikit lambat dibanding siswa lain dan lantas
mengatakan bahwa siswa tersebut malas untuk belajar atau lebih kejamnya
mengatakan bahwa siswa tersebut (maaf) bodoh. Karena pada dasarnya, apa yang
kita lihat belum tentu yang menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi.
2.
Berambisi
tinggi itu boleh saja, namun yang harus diingat adalah sudahkah kita berkaca
pada diri sendiri dan sudah pantaskah diri kita untuk mencapai ambisi tersebut. Terkadang kita lupa akan kemampuan yang kita miliki lalu berani
untuk berambisi tingga dan pada akhirnya kita tidak siap menghadapi kondisi
saat ambisi kita tersebut sudah terpenuhi.
3.
Semua
yang ada di dunia ini ada ilmunya. Untuk menjadi pemimpin bukanlah hal sesederhana menjadi orang
yang dipimpin. Untuk dapat menjadi pemimpin tentunya diperlukan ilmu yang
matang dan kesiapan yang matang pula, sehingga nantinya tidak “terkaget-kaget”
apabila dihadapkan dengan suatu masalah.
4.
Bahwa
tindak kebajikan pasti akan mengalaskan tindak angkara murka. Oleh karena itu, jangan malu untuk selalu berbuat baik meskipun
ditentang oleh banyak orang. Karena sebaik-baiknya tindakan adalah tindakan
yang didasarkan pada hati nurani, bukan ambisi yang salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar